Sebuah Cerita: Sobat Misqueen

Daftar isi [Tampil]
Sebuah cerita sobat misqueen


Pasti kita punya seorang sahabat yang melewati kisah susah bersama-sama. Saya punya sobat misqueen. Tak apa miskin harta, tapi jangan miskin hati. Perkataan yang kerap ibu saya ucapkan. Perkataan tersebut mengingatkan saya tentang sobat misqueen yang saya punya.


Baca juga:

$ads={1}

Kami pernah melewati kisah drama tak punya uang tapi ingin sekali ikut lomba dan menghadiahkan piala kepada orang-orang tercinta. Selain itu, tentu kami juga ingin berbagi kisah dan pengalaman serta membumikan ekonomi Islam melalui karya kami.

Berikut sepotong kisah tentang masa itu bersama sobat misqueen.

Sebuah Cerita: Sobat Misqueen


“Sepertinya kita nggak jadi ikut lomba deh. Duit di kantong tinggal 50 ribu untuk makan seminggu ini.” Celetuk saya tanpa basa-basi yang mematahkan semangat mereka. Artha diam. Dwi Kebingungan.


Sebagai seseorang yang tak ingin menambah beban orangtua, saya berusaha tidak meminta uang bulanan. Sebenarnya, tak pernah saya mengenal uang bulanan. Kalau bapak punya uang, barulah dikirimkan.


Maklum, anak petani karet yang saat ini harganya meroket turun ke bawah. Iya, kalau meroketnya ke atas, ini tidak.


Baca juga: Senyum Bapak


Cukup sadar diri untuk memutar kepala menghemat pengeluaran, apalagi bantuan berupa beasiswa untuk mahasiswa kelas menengah ke bawah belum sampai juga.


***


Saat itu kami berombongan merebut jalan setapak menuju arah pulang. Berusaha menghibur, Artha sedikit berbisik kepada kami “Kita kalau jalan mesti nunduk terus aja, siapa tau ada duit yang jatuh.”


Jalan setapak itu tampak bersih, jelas sekali Artha hanya melempar lelucon. Jika pun kami menemukan uang, pastilah tidak akan kami nikmati. Walau kantong sedang meringis, tak ingin kami mengikis akhlak.


Di lain waktu, sobat misqueen ku yang gantengnya pas-pasan ini kerap kali melempar guyonan. Pernah sekali waktu kami berkumpul dan bercerita, katanya “Roy, kalau tengah malam dirimu laper, cukup tempelkan perut di atas keramik. Biar kenyang.”


Roy hanya bisa nyeletuk, “Iya kenyang. Kenyang masok angin!”


Saya beruntung punya sahabat kantong tipis seperti mereka. Bisa menghibur diri. Sesekali juga bisa menjadi tempat untuk minta nasi, misalnya ke kosan teman kami Helen namanya.


***


Rapat untuk keberangkatan lomba ke Bengkulu tengah berlangsung di musala Fakultas Ekonomi. Pada ruangan yang memiliki hijab, akhwat (perempuan) dan ikhwan (laki-laki) dipisah. Kami tidak tahu siapa sosok ikhwan yang tengah memulai rapat, namun yang pasti biasanya tak lain adalah ketua umum dari Lembaga Dakwah Fakultas (LDF).


Dalam hati, saya berusaha memotivasi diri agar tetap tenang-tenang saja. Pasti ada jalannya, batin saja berkata.


Ada beberapa tim yang ikut serta dalam lomba ke Bengkulu tersebut, kami belum bisa meminta dana ke fakultas karena kala itu ada sebab yang menghambat. Sederhananya begitu, masalah detailnya apa kami kurang tau.


Setiap tim perlu mempersiapkan dananya masing-masing, mulai dari transportasi, penginapan, uang peserta, hingga untuk sekadar membeli oleh-oleh.


“Afwan, tim kami belum punya dana untuk membayar uang transportasi.” Dengan jujur perkataan tersebut keluar begitu saja.


Baca juga: Kita Adalah Pemenang: Cuci Mata ke Bumi Rafflesia, Sambil Berprestasi!


Alhamdulillah, sahabat yang baik ada yang ingin membantu mem-back up dana yang belum cukup. Bahkan hari itu, Artha, partner team tim saya tengah memperoleh rezeki kiriman orangtuanya. Disusul juga Sobat Misqueen saya Dwi.


Tak ada angin, tak ada hujan. Adanya pesan masuk dari bapak, “Bapak tadi ngirim duit, dipakai secukupnya ya.” Bersorak riang hati ini.


Saat pelaksanaan lomba, kami berusaha memberikan yang terbaik. Ada doa orangtua yang mengalir, dukungan dari sahabat, dosen, dan lain-lain. Memang benarlah, setelah kesulitan pasti ada kemudahan. Tim kami berhasil memaparkan Karya Tulis Ilmiah, kemudian berhasil meraih juara 1 di ajang kompetisi tersebut. LDF atau rombongan kami juga berhasil menyabet juara umum.

Begitulah sepotong cerita yang pernah kami lalui bersama. Semoga kamu juga dapat memetik hikmahnya, bahwa setiap manusia sudah ada porsi rezekinya masing-masing.

Lebih baru Lebih lama