
Apa yang membuat orang-orang mengubur mimpinya ?
Sebuah pertanyaan retoris kah ? Pertanyaan yang tidak mesti dijawab, tapi perlu untuk didengar. Dikatakan sebagai pertanyaan yang tidak perlu dijawab karena setiap orang berhak untuk tidak menjawabnya. Lagi pula "Siapa Anda ?"
Dikatakan sebagai pertanyaan yang mana jawabannya perlu didengar karena setiap jawaban pasti akan memberikan hikmahnya tersendiri.
Kenapa demikian ? Kamu pasti bertanya-tanya. Lalu, apakah saya akan membocorkannya lalu membisikkan alasan tersebut ? Ouh, jelas tidak. Temukan sendiri jawabannya pada sepotong kisah saya ini.
***
Saya terlahir dari keluarga yang penuh kasih sayang yang hidup di tengah kesederhanaan.
Sedari kecil saya diberi kecukupan yang patut disyukuri, jajan sehari-hari di sekolah hanya dua ribu rupiah. Nominal tersebut bertahan hingga saya lulus di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP). Bak seseorang yang habis dipromosikan, naik jabatan, dan naik pula duit gajian. Saya pun begitu. Lulus SMP kemudian lanjut ke jenjang menengah atas atau dikenal dengan SMA, masa putih abu-abu.
Ya, duit jajan saya mengalami peningkatan.
Namun, sebelum naik jabatan, saya menemukan batu kerikil di tengah jalan. Sebuah rintangan menuju SMA.
"Kamu punya uang untuk melanjutkan sekolah ?" Batin saya berujar.
Termasuk sebuah keberuntungan, saya lulus dengan predikat siswa berprestasi; punya banyak sertifikat. Sertifikat dan nilai bagus bisa menjadi modal untuk ikut tes di SMA Unggulan di daerah saya.
Saya tak punya relasi, keluarga yang sederhana hidup di desa yang tak punya orang dalam. Bukan itu poin pentingnya.
Nilai bagus, sertifikat pendukung, guru-guru percaya kamu bisa, apalagi teman-temanmu, tapi tidak dengan kedua orangtuamu. Begitulah awal batu kerikil tersebut bermula.
Segala bujuk rayu telah saya lakukan, menjelaskan ini dan itu dengan sedetail-detailnya. Namun, hanya emak yang mendukung, tidak dengan bapak.
"Sekolah kamu itu asrama, mau dibayar tiap bulan. Kita enggak punya uang. Lebih baik kamu ambil sekolah swasta di sini yang bisa masuk siang. Paginya ngasuh adek." Singkatnya begitu alasan penolakan dari bapak.
Sejak alasan tersebut dilontarkan, berhari-hari pula saya mengurung diri. Mata saya sembab, hati saya berguncang hebat, semuanya kacau seperti tak ada harapan lagi.
Sore itu, seorang guru dengan pakaiannya yang sederhana bertamu ke rumah kami. Pak Guru saya inilah yang mendorong saya untuk ikut tes di SMA Unggulan tersebut. Dengan hati-hati, Pak Guru menjelaskan kepada orangtu saya tentang alasan kenapa sebaiknya mencoba untuk ikut tes.
Belum tentu lulus juga, bukan ? Namun, Pak Guru sangat optimis mendukung muridnya. Hati orangtua mana yang tak terenyuh, ketika seorang guru telah bertandang ke rumah untuk meyakinkannya. Sayang beribu sayang, waktu itu hanya ada emak tapi tidak ada bapak. Seperti biasa, bapak masih di kebun dan belum pulang.
Singkat cerita, mungkin emak telah melakukan negosiasi bersama bapak hingga akhirnya saya dibolehkan mendaftar.
Kemudian, dua hari sebelum penutupan, saya dan bapak pergi ke pusat Kota Polis tempat di mana sekolah unggulan tersebut berada. Riang tak terkira, akhirnya saya mendaftar.
"Banyak juga dek sertifikat awak." Celetuk salah satu petugas yang menjaga meja pendaftaran. Saya lirik wajah bapak, di sana terbentuk senyum yang seolah-olah bangga. Memang bangga, hanya terhalang ekonomi saja.
Beberapa minggu setelah pendaftaran melalui jalur tanpa tes alias jalur prestasi, sebuah kabar kurang mengenakkan datang. Saya dinyatakan tidak lulus pada jalur tanpa tes. Tidak membuat semangat saya patah, sebuah tantangan baru saja dimulai.
Tantangan yang mengharuskan saya untuk diuji kemampuannya. “Apakah nilai bagus, sertifikat banyak berbanding lurus dengan kemampuan aktual?” Banyak sekali meja pendaftaran terkecoh dengan bagusnya nilai di rapor, tapi tidak dengan kenyataannya. Apakah saya juga demikian ?
***
Pagi itu, bersama motor hitam kesayangan bapak, saya duduk berpegangan erat di belakang punggungnya. Melaju sedang menerjang fajar. Jarak dari rumah ke titik kota sekitar satu jam, tentu mengharuskan kami untuk berangkat lebih awal.
Tiga hari berturut-turut, serangkaian tes berhasil saya lewati. Harap-harap cemas, saya dan bapak menunggu kabar dari tes terakhir.
Pucuk dicinta ulam pun tiba, nama saya tertera sebagai siswa yang lulus jalur tes di sebuah SMA Unggulan di daerah saya tersebut.
Saya tak melihat infonya dengan jelas karena terlalu ramai orang-orang memadati papan pengumuman. Yang pasti waktu itu, bapak dengan postur badannya yang tinggi melihat hasil pengumuman tersebut. Lagi-lagi terlihat manis sekali senyumnya yang sumringah bahagia. Ah bapak, senyummu rasanya sulit untuk digantikan dengan lelaki lain.
***
Sekian sedikit cerita tentang senyum bapak. Tulisan ini diikutsertakan dalam Challenge Menulis dalam Serial Buku Antologi Perdana dari Blogsri. Semoga pertanyaan di paragraf awal terjawab yah, bagi yang bertanya aja yang gak mah yowes beng.