Seri Introvert 1: Introvert Juga Bisa Ngomong

Daftar isi [Tampil]
Introvert juga bisa ngomong

Saya terlahir di keluarga yang mempunyai prinsip, “Enggak usah ngomong, kalo enggak penting.”

Bagi keluarga saya, banyak bicara itu tidak ada gunanya. Tetapi, terlalu pendiam juga tidak dibenarkan.

Mungkin, lingkunganlah yang berperan besar membentuk kepribadian saya yang pendiam. Hingga pendiam pelan-pelan banyak orang menyematkannya sebagai ciri dari introvert.

Saya ingat betul, waktu pembuatan buku antologi cerpen se-angkatan di SMA, seseorang ditugaskan untuk menuliskan karakter masing-masing individu di kelasnya untuk dicantumkan di belakang buku. Sebut saja A. A kemudian menuliskan semua karakter teman-temannya di kelas, tak terkecuali saya.

Saya sudah tidak terkejut lagi atas apa yang ia tulis, tho apa yang ia tulis itu benar adanya.

“Reskia itu pendiam….”

Beberapa kali saya pernah mengisi tes psikologi, tentu hasilnya sudah bisa saya tebak. Kamu intovert. Kamu pendiam. Kamu lebih menyukai pekerjaan yang tidak melibatkan orang banyak.

Pendiam adalah sinonim dari malas ngomong, menurut saya.

Saya kadang heran, kok bisa ya orang kalo ngomong itu tinggal nyerocos doang?

Itu dia ngomong, apa enggak pakek mikir lagi ya? 

Rasanya kalau tidak terlalu penting, ya untuk apa bicara. Pikir saya.

Saya pernah beberapa kali menantang diri saya. Saya ingin berkata pada dunia bahwa introvert juga bisa ngomong. Saya tidak mau karena saya pendiam, maka saya dikatakan ‘Wajar pendiam, kan lu introvert’.

Tidak. Saya tidak mau dikatakan begitu.

Introvert diam karena ia merasa bukan waktunya untuk berbicara.

Introvert akan berbicara saat benar-benar harus berbicara. Bukan apa-apa, introvert itu butuh tenaga ekstra untuk berbicara lebih dari biasanya. Ketika ia kelelahan maka ia mulai menepi, bukan karena ia tidak suka keramaian.

Iya, saya pernah menantang diri untuk lebih berani berbicara di depan banyak orang. Saya pernah ikut lomba mendongeng, lomba ceramah, lomba pidato, pernah membacakan puisi di perpisahan sekolah, dan banyak lagi.

Saya pernah menjadi sosok ekstrovert yang dikenal aktif berbicara di depan banyak orang.

Namun, saya lupa bahwa berbicara itu ada seninya. Pada persiapan Olimpiade Penelitian Siswa sewaktu SMA, seorang guru mengkritik saya.

“Kamu presentasi kayak mendongeng. Kalo presentasi itu butuh penekanan-penekanan khusus di setiap kalimatnya.”

Saya hanya bisa diam, kemudian menganggukkan kepala dan berkata “Iya pak.” 

Setiap selesai sesi latihan presentasi, saya selalu menangis. Saya selalu menyalahkan diri saya. Udah deh, kamu enggak usah sok-sokan merasa jago ngomong. Kamu itu emang dasarnya pendiem. Ngomong kayak mendongeng, ntar tidur itu audiens. Dalam diam saya menangis di teras masjid asrama.

Hingga tiba hari pelaksanaan lomba, saya bahkan lupa kalau saya dikenal pendiam. Betapa tidak, pelan-pelan saya belajar untuk berbicara layaknya seorang sales. Jika dihitung-hitung mungkin ada lebih seribu pengunjung yang hadir untuk menyimak penjelasan produk atau prototype lomba di standnya masing-masing.

Capek? Kelelahan? Tentu, bagi seorang introvert meladeni banyak orang itu melelahkan. Namun, poin penting yang ingin saya sampaikan adalah introvert juga bisa ngomong.

Begitulah kenangan empat tahun silam, saya menantang diri untuk berbicara di depan banyak orang.

Terpaksa yang Menjadi Biasa

"Bukan karena kamu introvert lantas tidak bisa berbicara di depan banyak orang, tetapi karena kamu takut untuk mencobanya."
Pertama-tama memang kita harus memaksa diri kita sendiri. Gugup, gemetar, deg-degkan, menjadi hal lumrah ketika kita berbicara ke ruang publik atau khalayak ramai.

Sederhananya saja, paksa diri kita untuk pede berbicara di depan kelas.

Minimalisirkan kata "Eee" yang identik dengan jeda untuk berpikir.

Persiapkan materi secara terstruktu. Pahami apa yang kamu ucapkan. 
Selalu pasang mantra, "Saya bisa, saya bisa, saya pasti bisa!"

Jujur saja, hingga saat ini saya masih merasakan rasa yang bercampur aduk kala diri tampil di depan. Saya masih takut dengan perkataan orang. Meskipun demikian, bukan berarti kita tidak bisa. Pelan-pelan dari terpaksa kemudian menjadi biasa.

Kamu tidak harus menjadi orang lain agar diterima, tapi jadilah diri sendiri dengan menggali potensi diri. Barang kali, ada banyak sumber potensi yang masih terpendam di dalam diri kamu sobat. Yuk kita belajar untuk terus menggali potensi diri.

Lebih baru Lebih lama