Daftar isi [Tampil]

Sejak duduk di bangku Sekolah Dasar (SD), saya lebih banyak berjalan kaki menuju sekolah. Sesekali pernah dijemput menggunakan sepeda, dan sesekali juga pernah dijemput dengan kendaraan bermotor.
Jarak dari sekolah ke rumah cukup jauh, jika ditempuh dengan berjalan kaki bisa menghabiskan waktu sekitar 1 jam perjalanan.
Hari-hari saya diisi dengan berjalan kaki.
Momen yang hingga kini terkenang tentang perjuangan saya pergi ke sekolah adalah berjalan kaki di tengah banjir dan beceknya jalan. Perumahan di daerah saya rata-rata berbentuk panggung, seolah-olah nenek moyang kami dahulu sudah paham cara mensiasati banjir. Tentu rumah kami tidak terendam banjir. Namun, untuk pergi ke sekolah saya perlu menerobos banjir yang setinggi pinggang orang dewasa. Jika diukur dari tinggi badan saya dulu, mungkin bisa menenggelamkan hampir keseluruhan badan saya terkecuali leher dan kepala.
Bak seorang pahlawan di tengah banjir, bapak mengantar putri sulungnya ke ujung perumahan yang tidak terkena banjir. Kemudian, saya melanjutkan kembali perjalanan menuju ke sekolah dengan sepatu yang sudah dibungkus kantong kresek berwarna hitam. Kantong kresek berguna untuk menahan beceknya tanah liat.
Kalender berganti kalender baru, budaya berjalan kaki tetap hadir hingga saya menginjakkan kaki di bangku kuliah.
Berjalan kaki adalah cara yang paling sederhana untuk bersyukur dan bersabar.
Mungkin kamu pernah mendengar cerita berikut ini.
Dua orang adik-kakak berjalan beriringan menyusuri trotoar, membawa karung dan kail khas pemulung jalanan. Receh demi receh, berdua mereka kumpulkan. Saat melewati jalan, melintaslah seseorang yang membawa sepeda.
Sang adik berkata, “Enak yah kak punya sepeda, kita bisa lebih cepat menyusuri antar kotak sampah yang ada.”
“Iya dik, kakak bisa memboncengi kamu. Asik sekali ya rasanya.” Jawab sang kakak sembari tersenyum.
“Kapan yah kita punya sepeda?” Tanya si adik.
Jarak dari sekolah ke rumah cukup jauh, jika ditempuh dengan berjalan kaki bisa menghabiskan waktu sekitar 1 jam perjalanan.
Hari-hari saya diisi dengan berjalan kaki.
Momen yang hingga kini terkenang tentang perjuangan saya pergi ke sekolah adalah berjalan kaki di tengah banjir dan beceknya jalan. Perumahan di daerah saya rata-rata berbentuk panggung, seolah-olah nenek moyang kami dahulu sudah paham cara mensiasati banjir. Tentu rumah kami tidak terendam banjir. Namun, untuk pergi ke sekolah saya perlu menerobos banjir yang setinggi pinggang orang dewasa. Jika diukur dari tinggi badan saya dulu, mungkin bisa menenggelamkan hampir keseluruhan badan saya terkecuali leher dan kepala.
Bak seorang pahlawan di tengah banjir, bapak mengantar putri sulungnya ke ujung perumahan yang tidak terkena banjir. Kemudian, saya melanjutkan kembali perjalanan menuju ke sekolah dengan sepatu yang sudah dibungkus kantong kresek berwarna hitam. Kantong kresek berguna untuk menahan beceknya tanah liat.
Kalender berganti kalender baru, budaya berjalan kaki tetap hadir hingga saya menginjakkan kaki di bangku kuliah.
Berjalan kaki adalah cara yang paling sederhana untuk bersyukur dan bersabar.
Mungkin kamu pernah mendengar cerita berikut ini.
Dua orang adik-kakak berjalan beriringan menyusuri trotoar, membawa karung dan kail khas pemulung jalanan. Receh demi receh, berdua mereka kumpulkan. Saat melewati jalan, melintaslah seseorang yang membawa sepeda.
Sang adik berkata, “Enak yah kak punya sepeda, kita bisa lebih cepat menyusuri antar kotak sampah yang ada.”
“Iya dik, kakak bisa memboncengi kamu. Asik sekali ya rasanya.” Jawab sang kakak sembari tersenyum.
“Kapan yah kita punya sepeda?” Tanya si adik.
“Mungkin suatu saat nanti, sekarang yang penting hari ini kita masih bisa makan. Yuk itu banyak sampah botol, mari kita ambil.” Sang kakak meyakinkannya.
***
Seseorang yang sedang membawa sepeda adalah penjual kerupuk yang mengantar dari warung ke warung. Setiap hari ia mengayuh sepedanya dari rumah. Saat melintasi jalan ia merasa kelelahan mengayuh sepeda, lalu berhenti sejenak di bawah pohon rindang.
Ia asik berteduh, melintaslah pengendara motor dengan setelan jas kantor.
“Enak yah punya motor, kerupuk-kerupuk ini tentu akan lebih cepat saya antar.” Ia bergumam di dalam hati.
***
Sementara si pengendara motor melaju dengan pesat menuju kantor. Sayang di tengah perjalanan, gerimis mulai membasahi tubuhnya. Kemudian, ia singgah di bawah halte tempat persinggahan bus untuk mengenakan jas hujan.
Seseorang yang duduk di bangku penumpang mobil hitam menyapanya. “Hai Rizki. Bapak duluan ya, Rizki hati-hati di jalan.” Orang tersebut menyapanya dengan ramah.
“Iya pak” Ia melambaikan tangan sembari tersenyum. Seseorang itu adalah atasannya di kantor.
“Enak yah punya mobil, saya tidak akan kepanasan lagi oleh matahari. Dan tidak kedinginan diguyur hujan.” Pikirnya.
***
Sore hari jalanan ramai, lelaki di dalam mobil hitam terjebak macet. Matanya menangkap momen haru nan bahagia. Dua orang anak kecil yang ia perkirakan adalah adik dan kakak yang sedang melahap satu bungkus nasi. Mereka makan dengan bahagia sembari diselingi dengan bercerita kemudian tertawa. Lahap sekali, pikirnya.
“Kapan yah terakhir kali makan bersama anak-anakku?” Pikirannya melayang dengan iringan kendaraan yang melaju di lampu hijau. Sembari mengemudi, ia larut ke dalam kesedihan. Ia sibuk, begitu pula istrinya. Anak-anaknya jauh lebih asik makan bersama teman-temannya. Waktu yang ia punya hanya habis di jalan dan di kantor, ketika pulang ia kelelahan. Anak-anaknya sibuk dengan dunianya, sedangkan ia larut pula ke dalam dunianya.
***
Mungkin benar, jalanan adalah tempat bersyukur dan bersabar. Saya sendiri sesekali pernah berpikir, “Enak yah punya motor, paling tidak pergi ke kampus akan lebih cepat.”
Sesekali pula saya pernah berpikir, “Andai saja saya punya motor, mungkin saya bisa memberikan jasa antar-jemput sebagai ojek kampus. Itung-itung menambah pemasukan.”
Lagi-lagi saya tepis pikiran yang isinya berandai-andai. Kita semestinya bersyukur dengan keadaan yang kita punya. Serta bersabar ketika banyak hal menguji kita, seperti kepanasan, kehujanan, kesandung batu, keciprat air, dan lain-lain.