Daftar isi [Tampil]
Kucing dan saya yang masih kecil
Dulu sewaktu kecil, saya punya dua kucing. Sekitar umur 5 tahun, masih kanak-kanak. Punya kucing dua ekor yang saya perkirakan berjenis kelamin jantan dan betina. Si cowoknya ini adalah kucing berbulu oren. Sedangkan, si ceweknya adalah kucing berbulu oren putih. Mereka berdua mengisi hari-hari saya.
Pernah suatu ketika si oren-putih hilang dari rumah, hingga malam tidak pulang jua. Saya yang masih kecil menunjukkan raut wajah yang sedih. Merengek-rengek bertanya mana kucing oren-putih. Bapak yang waktu itu saya ingat langsung mencari si oren-putih. Mungkin karena jengkel mendengar rengekan saya, bapak bergerak mencari. Mungkin.
Malam itu hujan, sedang sih (lebat enggak gerimispun lewat). Lengkap sudah kesedihan saya, merengek plus diiringi dengan rintikan hujan. Berbekal senter, bapak mencari si kucing kecil ke bawah kolong rumah. Dulu rumah kami bentuknya rumah panggung berada di pulau yang di kelilingi laut *yaiyalah namanya juga pulau haha. Kemudian, sepertinya bapak mendengar suara kucing kecil yang mengeong di bawah kolong dapur. Akhirnya ketemu si oren-putih. Kau tau? Malam itu ada perasaan lega di dada setelah ketemunya si oren-putih.
Saya yang kecil tumbuh bersama kucing. Tidurpun saya ajak mereka. Rumah kami yang merupakan perumahan untuk pegawai (read: karyawan, buruh) pabrik nanas, ya dulu orang tua saya sempat bekerja di suatu perusahan swasta. Rumah di sana penuh dengan kolong, perlu dilakukan fogging secara rutin. Jika tidak, nyamuk akan semakin ganas. Oleh karena rumah kami yang berkolong, setiap malamnya harus menggelar kelambu. Itu lho yang kain punya lubang kecil-kecil, kecil banget sehingga nyamuk enggak bisa masuk. Singkatnya, malam-malam saya diisi bersama kucing di kelambu.
Si oren-putih dan oren adalah dua kucing yang penuh memori. Setiap pagi ketika saya hendak ke sekolah bersama emak, dua kucing ini akan berlari keluar mengikuti kami. Emak yang masuk (shift) pagi serta saya yang sekolah pagi akan pergi bersama naik sepeda. Saya diboncengi mamak, kemudian emak mulai mengayuh sepeda. Dua kucing itu berlari mengikuti kami. Emak berhenti sejenak, memarahi kucing itu. Dihentak-hentakkannya kaki mamak untuk menakuti kucing itu. Saya tau kucing punya perasaan. Maka, setiap pagi pula saya merasa sedih meninggalkan mereka di rumah. Hingga, kemudian kami benar-benar pergi meninggalkan mereka berdua. Kami pindah rumah, ke tempat asal bapak saya di Palembang. Sedih rasanya, ketika saya mengingat dua kucing itu.
Keluarga Kuskus
Ketika pertama kali kami pindah ke Palembang, lebih tepatnya ke rumah nenek. Saya disapa oleh kucing belang tiga. Kucing betina yang tak pernah bisa mempunyai anak. Setiap kali ia melahirkan, anak kucing tersebut akan mati. Pernah suatu ketika saya bermimpi, ada anak kucing yang bakal hidup. Benar saja, waktu itu si belang tiga melahirkan anaknya kemudian hidup walau hanya dua hari. Mungkin umurnya sekitar tiga atau empat tahunan bertahan di rumah, lalu hilang ditelan semesta. Entah itu mati atau tersesat di hutan, saya tidak tau.
Beberapa bulan selanjutnya, ada kucing-kucing lain yang hadir mengisi rumah. Rasanya tak perlu saya tuliskan semuanya, tho saya tidak ingat lagi semua-muanya. Waktu itu ada kucing hitam kumbang. Ada pula kucing hitam putih, abu-abu. Pernah saya menangis lebay ketika si hitam-putih meninggal. Bukan apa-apa, rasanya kucing sudah menjadi bagian dari keluarga kami. Karena sudah sering merasa kehilangan, akhirnya saya mulai tak menangis lebay lagi.

Setelah bertahun-tahun tanpa kucing belang tiga. Akhirnya ketika saya berada di penghujung bangku SMA, hadir kembali kucing belang tiga. Kali ini si kucing belang dapat dengan mudah beranak pinak memperbanyak keturunan. Si belang tiga dominan hitam ini namanya Kus, sering disapa kus kus. Ya, nama blog ini mengambil nama si doi. Kuskus punya anak namanya Butet, si belang tiga dominan putih. Butet inilah yang hingga kini masih bertahan di rumah. Si Kuskus sudah bermigrasi ke rumah bibi saya.
Kucing Oren
Ini merupakan serba-serbi perjumpaan saya dengan kucing oren. Sebenarnya banyak, hanya saja saya mengambil sedikit dari banyak tersebut.
Pada paragraf sebelumnya, saya cerita dulu sewaktu kecil saya punya kucing oreng yang setia banget ngikutin saya. Bahkan ketika ingin pergi sekolah saja ia mau ikut, ketika pulang ia menunggu saya di rumah. Kucing oren yang penuh memori.
Beberapa kali juga kucing oren (orange) hidup di rumah saya. Tahun kemarin Butet sempat melahirkan dua anak, saya lupa warna apa cuman inget yang hidup doang. Namun sayang hanya satu yang hidup yakni si oren. Si Oren ini sering saya panggil Neng, nama panjangnya Koneng. Neng ini bujangan :v
Si Bujang saya tinggal pergi merantau untuk kuliah. Baru duduk nyaman tiga bulan di kelas, saya kembali pulang karena adanya pandemi ini. Kemudian, Butet melahirkan dua anak lagi yang sayang kedua-duanya meninggal. Butet, saya rasa punya penyakit mirip dengan kucing belang tiga generasi pertama di rumah saya. Dari beberapa kali persalinan (kayak Bidan aja dah), hanya si Koneng yang hidup hingga tumbuh menjadi Bujang. Saya sering menggerutu, "Dah lah cing bunting bae, kasian aseknye mati terus anak nga." Ya gitulah terjemahin sendiri ya artinya.

Di Kosan saya juga punya kucing oren, lebih tepatnya kucing liar yang tinggal di kosan. Anehnya kucing ini seakan betah sekali bertamu ke kamar saya. Padahal mah enggak setiap hari ada lauk, maklum anak kosan cing. Kucing oren yang satu ini punya hobi molor sepanjang waktu, bayangin tuh betapa nikmatnya dia tidur dengan posisi terlentang di atas modul kuliah saya pula. Kucing ini pula kerap menemani saya minum teh di pagi hari, serta menikmati senja di sore hari. Sweet banget ya kan?
Saya bersama Ira, sering menikmati danau retensi di sore hari. Ira ini teman satu daerah saya, tinggal bersebelahan kosan juga, anat Teknik Elektro yang strong abis. Ira sering dapat banyak tugas nulis laporan yang banyaknya bukan main. Saya beberapa kali juga sering dapat tugas tapi tidak sebanyak Ira. Ketika kami ingin mengobati jenuh di kosan bersama tugas, kami sering mampir di pinggir danau retensi tepatnya di belakang pos satpam kampus. Jangan bayangin danau retensinya kayak Danau Toba ya, jauh banget bedanya. Ini hampir lebih mirip kolam ikan yang enggak ada ikannya dengan pancuran yang tidak berfungsi.
Danau retensi ini menjadi tempat kami makan bakso bakar bersama secangkir es buah atau kopi cincau. Pada saat itu ada kucing gede yang bisa dikatakan mirip bapak-bapak yang hobi ngeronda sambil main catur. Kucing oren gede itu menghampiri kami, pasti ada maunyalah. Jiwa media dan publikasi seakan mengalir begitu saja di diri saya, dan satu dua tiga saya potret si kucingnya bak model papan atas.
Cat Traveler
Bingung sebenarnya mau menulis judul apa pada sub bab yang ini. Berawal dari kata Food Traveler, mungkin bagian yang ini akan cocok saya namai dengan Cat Traveler.
Bagi saya, setiap kucing itu punya ceritanya masing-masing
Setiap kucing punya cerita
Saya pernah bertanya di kepala saya, "Kenapa ya kucing di masjid bisa begitu terawat?" Pertanyaan tersebut saya jawab sendiri. Saya meyakini seseorang yang tinggal di masjid (marbot) menyayangi kucing dengan sepenuh hati.
Beberapa waktu seperti menjelang UTS dan UAS, saya kerap mencari tempat tenang untuk menyerap ilmu agar masuk ke kepala. Tempat itu adalah Rumah Allah atau kita kenal dengan Masjid. Kucing kecil ini sangat manis dan begitu terawat. Malu-malu ia menghampiri saya. Saya yang waktu itu hampir bosan menghapal dan memahami materi, seketika fresh kembali melihat kucing manis tersebut. Kucing memang bisa mengembalikan mood menjadi lebih baik.
Kemudian, kucing yang saya temui di Mushola Kampus D3 FE Palembang juga tak kalah manis. Sama-sama manis, lucu dan menggemaskan. Kucing yang satu ini sangat aktif serta lincah. Hari itu adalah hari dimana saya untuk pertama kalinya ikut Lomba Debat. Capek cuy. Seriusan dah haha. Saya yang biasanya ngomong hanya sekadarnya saja, lebih banyak diemnya dipaksa keluar dari cangkang untuk lebih banyak bicara. Ada tiga sesi debat untuk masing-masing tim, kami baru menyelesaikan sesi pertama. First Impression yang saya rasakan hanyalah capek, panik, dan kesal. Harus banyak-banyak istighfar pokoknya deh.
Kucing hitam putih ini mungkin menjadi saksi betapa lelahnya muka saya waktu itu. Lebih dari itu semua, saya bangga karena sudah berani mencoba *sa ae lu kik.

Dalam perjalanan menemukan sebuah ide, ada salah satu kucing yang mungkin ikut menyimak pembicaraan kami. Ada Gusti dari Pertanian, Fadel dari Teknik Kimia, dan saya dari akuntansi. Kami menyatu dalam sebuah tim PKM (Program Kreativitas Mahasiswa) yang diselenggarakan secara tahunan oleh Kemenristekdikti.
Bertiga kami duduk berunding di sebuah gazebo (pelataran) Fakultas Pertanian untuk mencari sebuah ide. Fadel yang tinggal di kota Palembang mengusung inovasi baru dari hidroponik. Dia yakin tim kami pasti lolos proposal pendanaan, ada Gusti dari pertanian yang bisa ahli untuk urusan tanam menanam serta saya yang katanya ahli soal duit-duit. Fadel bisa menggali lebih dalam lagi soal dunia per-kimia-an yang mungkin ada bahan-bahan yang bisa menjadi pupuk mengalir. Kucing itu hanya bisa mengangguk mendengar Fadel memaparkan idenya.
Sepertinya berbicara soal kucing tak akan ada habisnya. Ada kucing yang saya temui kala lari pagi di hari minggu yang cerah, hanya sesekali doang larinya euy. Kucing yang tinggal di area asrama kampus. Kemudian, ada pula kucing yang hidup di Musala Fakultas saya. Marbot masjid yang diisi oleh mahasiswa, patut saya acungi jempol telah merawat kucing-kucing dengan baik. Lucu juga karena mereka semua adalah laki-laki yang notabenenya jarang suka kucing. Pernah ada yang nyeletuk, "Open Pre Ordernya kakak..." sambil menunjuk pada kucing yang bunting.
Sobat Jauh
Setidaknya dalam hidup ini kita mempunyai teman jauh, entah itu dulunya dekat kemudian jauh atau teman yang benar-benar tinggalnya berjauhan dengan kita. Di sini saya ingin sedikit bercerita mengenai sobat jauh saya.
Pertama, dari yang paling dekat dengan Palembang dulu yakni Kerinci, Jambi.

Akhir tahun kemarin saya sempat mudik ke kampung tempat saya dilahirkan, rumah nenek saya. Saya menemui dua kucing hitam legam (kumbang) milik tetangga yang datang ke rumah. Kucing ini yang menemani saya di dapur, memeluk dirinya sendiri untuk menghangatkan diri di dekat tungku perapian. Jarang sekali saya bisa menemukan kucing kumbang, sekalinya bertemu langsung ada dua ekor.
Sewaktu perjalanan pulang kembali ke rumah, saya sempat menginap terlebih dahulu di rumah tante saya di kota Jambi. Ada dua kucing kota di rumahnya. Jika ada kucing kampung, maka pasti ada kucing kota. Saya lebih senang menyebutnya kucing kota ketimbang kucing persia atau kucing angora dan sejenisnya. Kucing kota ini sungguh mahal perawatannya. Bayangkan saja, sekali mandi kucing ini menghabiskan uang sekitar 50 ribu untuk satu kucing. Kalau dua kucing ? 100 ribu uang yang keluar. Belum lagi makanannya, paling murah saja 100 ribu berdua. Jika dihitung, dalam seminggu tante saya menghabiskan uang 200 ribu untuk dua kucing. Itu paling murah yah, hadeh kucing kota. Kucing di rumah saya saja sudah teramat mewah kalau dikasih tulang tanpa dicampur nasi hahaha
Kedua, sobat jauh asal Medan. Saya bertemu dengan kucing ini kala bertolak ke Medan, tepatnya di kosan Liaison Officer (LO) lomba saya. Kosan Mbak Sukma menjadi penginapan terakhir kami sebelum kembali pulang ke Palembang. Awalnya kami menginap di tempat yang telah disediakan panitia lomba, sayang untuk malam terakhir tidak bisa digunakan untuk menginap lagi.
Paginya kami harus segera berangkat ke bandara. Ketika orang-orang sibuk cupika-cupiki, saya malah mengucap salam perpisahan ke kucing ini terlebih dahulu. Hey kucing, kamu masuk dalam catatan perjalanan Reskia disini hehe

Ketiga, sobat jauh asal Surabaya. Sewaktu Maba saya pernah mengikuti Temu Ilmiah Nasional FoSSEI di Medan. Alhamdulillah untuk tahun kedua, saya diberi rejeki untuk kembali menikmati nikmat tersebut. Kali ini saya bertemu dua kucing asal Arek-arek Suroboyo. Kucing putih itu saya temui di asrama tempat kami menginap di Surabaya. Saya dan rekan tim, waktu itu sedang menunggu keberangkatan ke titik lokasi acara. Tiba-tiba kucing ini berlenggak-lenggok di hadapan kami, langsung saja kami culik ke pangkuan hahaha

Selepas agenda yang begitu panjang, di hari terakhir kami tidak sempat menikmati yang namanya Field Trip. Sebagai rakyat Indonesia yang baik, kami lebih memilih pulang untuk ikut dalam pemilihan Presiden ya walau doi kalah sih. Tapi kami tidak begitu saja menyianyiakan tiket perjalanan gratis ke Surabaya, tentunya kami mempunyai jalan ninja untuk sekadar menikmati wisata ikonik. Saya bertemu dengan kucing gemuk di Monumen Kapal Selam. "Eh thak, fotoi aku dengan kucing ini." Pinta saya kepada seorang teman untuk menangkap momen kebersamaan saya dengan si kucing tersebut.
Saya tumbuh bersama kucing. Beberapa kucing menjadi saksi perjalanan hidup seorang anak manusia. Saya meyakini, bahwa setiap kucing berhak bahagia sebagaimana kita yang ingin hidup bahagia. Sebagai penutup tulisan yang panjang ini, saya berpesan
Cintailah kucing, sebagaimana kamu ingin dicintai."