Keluarga Budi: Pemulung yang Berbahagia

Daftar isi [Tampil]
Pemulung
Monpera dan Pemulung

Orang miskin ada di mana-mana. Masa bodoh yang katanya angka persentase orang miskin menurun di negeri ini. Tho, masih banyak yang berkeliaran meraung-raung kedinginan dan kelaparan. 

Sebut saja namanya Budi. Salah satu warga di pelosok desa yang merantau ke  ibu kota. Ia memboyong keluarganya pergi mencari sesuap nasi. Istrinya satu, masih ada sisa tiga tempat untuk calon istrinya lagi. Tapi, Budi selalu merasa cukup dengan satu istri. Dirinya beruntung mempunyai istri yang tak banyak menuntut. Budi mempunyai lima anak yang berbeda-beda usia dengan jarak lima tahun peranak. Anaknya paling tua berumur dua puluh tahun (20 tahun). Anaknya yang paling muda berumur satu tahun (1 tahun).

Anak pertamanya Asep sangat beruntung terlahir miskin dengan otak cerdas. Sedari Sekolah Dasar Asep sering kali berjualan di sekolahnya. Semuanya serba dijual. Kedondong berbuah, ia menjual kedondong. Kedondong tetangganya, tentu diperoleh dengan cara yang baik. Asep diminta oleh si pemilik untuk memetik kedondong yang kemudian diupah dengan sekantong kresek isi kedondong ukuran sedang. Otak Asep yang cerdas langsung menjual kedondong kepada temannya di sekolah.

Anak Budi bernama Asep memang pintar mencari uang, betapa tidak Asep selalu dibangga-banggakan. Asep juga pandai bermain kelereng. Sering kali setelah menang bermain kelereng, ia jual kepada teman-temannya. Sepuluh buah dihargai seribu rupiah.

Asep juga hobi memancing. Sepulang dari sekolah, hampir menjadi sebuah ritual bagi Asep untuk mandi di sungai dan memancing ikan. Beruntung, kota tempat keluarganya mengadu nasib masih memiliki sungai untuk dieksploitasi secara kecil-kecilan. Sungai Musi, mengaliri Ibu Kota Pempek berbagai macam ikan diperoleh. Iwak Belida favorit para tetangga-tetangga Asep, jika hari itu ia mendapatkan ikan tersebut langsung saja pasti ia jual.

Jiwa wirausaha sedari kecil sudah mendarah daging di anak sulungnya Budi ini. Selain, pintar mencari uang. Anaknya juga rajin menabung. Jika ditanya untuk apa, ia akan menjawab "Bekal Masa Depan." Budi yang mendengarkan hanya bisa tertawa geli, orang miskin yang visioner katanya.

Anak kedua Budi bernama Ayu. Lima tahun di bawah Asep. Umurnya yang menginjak angka lima belas tahun, sedang meledak-ledaknya aliran darah muda. Anaknya yang kedua ini terjangkit virus merah jambu. Susah sekali untuk dinasehati. Selepas pulang sekolah, Ayu bukannya pulang ke rumah malah asik berkeliling kampung bersama sang pujaan hati. Budi hanya bisa menggeleng-geleng melihat kelakuan putrinya. Belum lagi ketika di rumah, malasnya minta ampun. Walaupun begitu, Ayu yang cantik mampu menggaet lelaki kaya sehingga tak jarang Budi memperoleh suntikan dana ngopi gratis di warung tetangga. Maklum pacarnya Ayu adalah anak tetangga pemilik warteg yang sering Budi singgahi. Budi sering menggoda pemilik warung, "Ayolah bik cek, kita akan berbesan. Secangkir kopi cukup membuat erat jalinan silaturahim kita."

Andi, anak ketiga Budi. Andi dan Budi, mirip sekali. Bagaimana cara Andi melangkah, persis dengan gaya Budi melangkah. Dada dibusungkan, langkah kaki lebar ke depan. Anakku engkau akan menjadi penerusku, menjadi pemulung handal di kota ini. batin Budi. Sayang Andi tak sehebat dua kakaknya, Asep dan Ayu. Andi tak bisa menyicip nikmatnya kursi sekolah.

Setiap hari Andi hanya bisa ikut bersama Budi menyusuri kotak sampah ke kotak sampah lainnya di area Monpera, Monumen Perjuangan Rakyat. Kemudian, menyusuri kolong jembatan Ampera. Di bawah tegaknya Jembatan Ampera, disana banyak sampah bertumpukan. Budi akan sangat bersemangat jika menemukan sampah kaleng bekas anak jalanan yang sering nongkring di malam hari. Katanya, "Istriku sangat menyukai sampah kaleng!" Dengan nada yang bersemangat Budi mengumpulkan sampah demi sampah.

Monpera dan Ampera memang berdekatan, area wisata yang banyak digemari pengunjung lokal maupun internasional.

Monpera adalah tempat yang disukai Budi. Bukan karena tempat tersebut menghasilkan banyak sampah, tapi di sana terdapat monumen garuda yang berdiri tegak. Budi sering kali memberi motivasi kepada anaknya setibanya di Monpera, katanya "Nak, percayalah menjadi Pemulung adalah pekerjaan yang mulia. Kau tahu, jika tidak ada kita betapa bertumpuknya kotak sampah ini. Orang-orang juga suka berbuat semena-mena membuang sampah tidak pada tempatnya. Dan, kita hadir sebagai pahlawan untuk memungut sampah tersebut nak. Paling tidak Monumen itu akan terlihat indah," tunjuk Budi pada Monpera yang berdiri tegak.

Anaknya yang keempat dan kelima, Anita dan Anton, hanya berdiam diri di rumah bersama istrinya, Citra. Tidak sekadar berdiam diri. Citra bersama anaknya asik memilih sampah-sampah perolehan Andi dan Budi. Sampah plastik dengan yang plastik. Kaleng dengan kaleng. Kardus dengan kardus. Begitupun dengan yang lainnya. Citra senang sekali jika Budi banyak memperoleh sampah kaleng, harganya mahal perkilogramnya akan dihargai delapan ribu rupiah (Rp. 8.000). Sampah yang paling murah itu kertas atau kardus, tiga ratus rupiah (Rp. 300) untuk satu kilogramnya. Walaupun begitu, setiap kali Budi pulang ke rumah Citra selalu menyukurinya entah itu kaleng ataupun kertas. Paling tidak kita masih bisa makan.

Pernah suatu ketika, sampah-sampah di tempat favorit Budi mulai sepi. Bersih lebih tepatnya. Budi terpaksa pulang dengan tangan kosong, walaupun ada paling setengah karung tak sampai. Beruntung tidak hujan, jika hujan lengkap sudah semesta membuatnya bersedih hati.

Dari kejauhan Citra sudah melihat Budi, berjalan gontai sambil mengeret  karung kosong. Citra tetap tersenyum melihat suaminya pulang. Bagi Citra tidak ada yang paling membahagiakan selain hadirnya orang yang dicinta, tentu pulangnya Budi adalah kebahagian bagi Citra.

Budi tau, di balik senyum istrinya ada berjuta makna di dalamnya. Entah itu sindiran para tetangga, bahwa pemulung itu hanyalah manusia-manusia kotor. Kotor seperti sampah yang sering mereka pungut. Riasannya kumal. Bajunya compang-camping. Belum lagi pikiran-pikiran negatif dari tetangganya, ketika Citra hendak berbelanja. "Dapat duit dari mana? Emang duit dari hasil mulung banyak ya? Jangan-jangan mah hasil..." Ah Budi berhenti memutar pikiran jahat tersebut. Karung beserta Kail pengais sampah ia letakkan di pojokan tumpukan sampah yang telah disortir oleh istrinya. Budi kemudian beranjak mendekati Citra, istri tersayangnya. Lalu memeluk dan membisiki kata-kata manis dengan nada yang optimis.

"Dik, maaf hari ini tak bisa membawakanmu sampah-sampah yang bisa menjadi uang. Maaf tak ada sampah kaleng hari ini. Lebih dari itu, terima kasih masih tetap setia menungguku di depan pintu kayu ini. Percayalah, suatu saat nanti nasib keluarga pemulung akan lebih terhormat. Percayalah, tak akan ada lagi tetangga yang mencibir tentang kita. Mereka akan berbondong-bondong membawa sampahnya ke rumah kita. Kita tak perlu lagi bersusah payah memungut sampah lagi. Percayalah negeri kita nanti akan diisi dengan warga yang taat aturan." Sejenak Budi berhenti lalu menelan mata Citra.

Ditatapnya dalam-dalam, "Percayalah dik, kalimat di larang membuang sampah akan menjadi langka di negeri kita. Perlahan kesadaran tersebut akan tertanam di diri masing-masing, bahkan tidak perlu ada denda jika tak sengaja membuang sampah sembarangan sebab akan dibersihkan oleh yang lainnya."

Suatu saat nanti. Kehidupan baru di negeri kita ini.

Catatan:
Tulisan ini masih butuh banyak koreksian. Jika berkenan, boleh tuliskan saran-saran yang dapat membangun. Maklum si penulis banting stir dari dunia ilmiah ke dunia fiksi :v

Cerpen yang lumayan pendek ini akan tayang di Baceday Media, sebuah platform penyedia majalah gratis. Baceday Media dibangun oleh penulis dan rekan sejawatnya di kampus tempat ia mengenyam pendidikan. Yuk berkunjung, barang kali ada secercah ilmu yang didapat.
Lebih baru Lebih lama