Daftar isi [Tampil]
![]() |
Tentang Seorang Guru |
Ada salah satu tulisan seseorang yang menarik bagi saya. Tulisannya bercerita mengenai alasannya menjadi seorang guru. Saya terhenti pada salah satu paragraf, berusaha untuk mencerna lebih dalam. Ada kalimat yang menjelaskan bahwa seorang guru akan digaji secara dobel. Pertama, gajinya di dunia. Kedua, gajinya di akhirat.
Tulisan tersebut mampu mengembalikan ingatan masa lampau saya. Bahkan saya kembali teringat dengan seorang nenek-nenek, temannya nenek saya yang sedang bersilaturahmi.
Waktu itu saya masih kecil, belum sekolah. Si nenek membentangkan telapak tangan saya, seraya berkata, "Tulisan kamu pasti bagus, cocok sekali menjadi seorang guru". Saya tidak tahu itu sebuah harapan atau ramalan. Buktinya sekarang saya tidak menempuh pendidikan profesi guru. Saya bahkan tak ingin menjadi seorang guru. "Ngapain jadi guru? Susah ngurusin anak orang," mungkin begitu komentar saya setelah duduk di bangku sekolah.
Ketika ada salah satu siswa yang tak sengaja teberobos atau bahasa halusnya BAB di kelas, Sang Guru akan dengan sabar sambil tersenyum untuk membantu membersihkan siswa tersebut. Belum lagi ketika toilet di sekolah tidak berfungsi dengan normal, tak ada air, gurulah yang membantu mencarikan air ke rumah-rumah warga terdekat. Tentu pengalaman ini pernah saya rasakan, kala menunggu adik saya di sekolah. Waktu itu adik saya masih kelas satu SD, sekadar membuka ikat pinggang untuk pipis pun masih minta dibantu. Bagaimana dengan temannya yang lain? Bisa dikatakan masih butuh bimbingan orang tua.
Belum lagi jika berbicara mengenai kualitas pendidikan di Indonesia. Menurut UNESCO yang ditulis di dalam Global Education Monitoring Report 2016, Indonesia menempati posisi ke-10 dari 14 negara berkembang untuk kualitas pendidikan. Sedangkan, kualitas guru berada pada posisi ke-14 dari 14 negara. Dilihat dari keterbaruan data, tentu jarak antara tahun 2016 ke 2020 lumayan jauh. Saya belum menemukan data terbaru, setidaknya dengan hasil report tersebut mampu menjelaskan bahwa pendidikan di Indonesia tidak baik-baik saja.
Suatu kegiatan bertajuk ‘Training Academic’ yang membahas persoalan organisasi, saya teringat test kecil-kecilan oleh kakak tingkat saya. Dalam agenda tersebut kami dipinta untuk menuliskan mengenai kondisi pendidikan Indonesia saat ini. Kalau tidak salah, kami diberikan waktu lima menit untuk menuliskannya di selembar kertas. Saya dengan sigap menuliskan semua hal yang tergambar dibenak saya.
Setelah selesai, kami dipinta untuk membacakan apa-apa yang sudah kami tulis. Sangat mengejutkan, ketika isi tulisan kami semua membahas tentang negatifnya pendidikan di Indonesia. Entah itu mulai dari fasilitas sekolah yang kurang memadai, jarak yang ditempuh dengan berbagai tantangan dari melewati jalan tanah hingga menyeberang dengan perahu, guru yang kurang berkompeten, hingga gaji guru yang tak seberapa.
Saya menyadari hal ini semua, ketika kakak tingkat saya berujar dengan kalimat tanya “Kenapa menuliskan hal negatif semua? Seakan kondisi pendidikan di Indonesia memang sangat memprihatinkan. Bukankah banyak hal positif yang bisa kita syukuri?” Begitulah gambaran kalimat yang beliau tuturkan.
Ketika saya mengingat momen tersebut, hari ini saya harus lebih bersyukur karena telah mengenyam bangku pendidikan serta bertemu banyak guru.
Emak pernah bercerita sewaktu saya sedang belajar di Taman Kanak-kanak, ada seorang guru yang sabar sekali mengajari saya. Dari penuturan yang disebutkan oleh mamak, saya berusaha menghadirkan sosok guru tersebut di benak saya. “Pasti ibu gurunya sabar sekali, mengajari saya yang lamban dalam menghafal huruf dan angka.” Gumam saya di dalam hati. Emak saya di rumah juga tak kalah sabar untuk mengajari saya menulis. Dinding rumah saya penuh dengan coretan spidol, khususnya dinding dapur.
Ketika emak sedang memasak, saya akan mencoret-coret di dinding dapur. Saya ingat betul, betapa susahnya saya menuliskan huruf ‘b’ (be kecil). Saya akan menuliskannya dengan tangkai yang panjang seakan menggambarkan tiang listrik yang sedang hamil muda.
Pertemuan dengan sosok guru-guru hebat patut saya syukuri.
Guru tercintaTanpamu apa jadinya akuTak bisa baca tulisMengerti banyak halGuruku terimakasihku
Sebuah lirik lagu yang pernah kami nyanyikan semasa perpisahan Sekolah Menengah Pertama (SMP). Saya salah satu siswa yang menjadi paduan suara tersebut, menghayati kata demi kata. Seorang guru meminta saya membacakan sebuah puisi tentang guru kala itu, ada rasa kebanggaan tersendiri di dada saya. Betapa tidak, di hadapan para guru, wali murid, teman-teman saya, serta bapak saya, semua tersihir mendengarkan saya membacakannya seakan puisi mengalir begitu syahdu. Ah guruku, betapa mulianya pekerjaanmu ini semoga Allah yang akan membayar semua jasa-jasamu.
Semua orang bisa menjadi seorang guru, termasuk saya!
Baiklah saya akan menarik kembali kalimat saya pada paragraf ketiga yang pernah saya lontarkan semasa sekolah dulu. Saya bahkan tak ingin menjadi seorang guru. Saya ingin menjadi seorang guru. Guru bagi diri sendiri, guru bagi adik saya, guru bagi teman-teman saya, guru bagi masyarakat sekitar, hingga menjadi guru bagi anak saya kelak si calon pengisi peradaban dunia. Sungguh mulia cita-cita seorang guru. Siapapun kamu, apapun posisi sobat sekarang jadilah seorang guru. Tentu saya tak perlu mendefinisikan arti guru, bukan? Mari taruh definisi guru di sanubari kita masing-masing. Guru tak hanya tentang seseorang yang mengajar di kelas, memberikan PR, mengasih nilai, tapi lebih dari itu semua.