Daftar isi [Tampil]
![]() |
Jalan kaki sumber: beritagresik.com |
Hari ini saya berniat menuliskan cerita saya semasa Sekolah Dasar (SD). Saya berusaha keras mengubek-ubek ingatan masa lalu.
Dari sekian banyak yang mungkin bisa saya tulis perihal cerita di masa SD, kali ini saya ingin bercerita mengenai Jalan Kaki saja. Pikiran yang melintas sesaat, tapi rasanya gatal jika tidak dituliskan segera.
Sedikit memberi pengetahuan, dari hasil search ke google saya menemukan fakta menarik di situs cnnindonesia perihal fakta berjalan kaki. Menurut jurnal Archives of Internal Medicine, Berjalan kaki di luar ruangan atau outdoor selama 15 menit dapat meningkatkan suasana hati. Selain itu, rutin berjalan kaki dapat mengurangi depresi diri. Kemarin saya menuliskan bahwa menulis dapat mengurangi depresi, nah kali ini ternyata berjalan kaki juga bisa mengurangi depresi.
Itu mungkin sedikit pengantar tentang manfaat berjalan kaki. Kembali pada cerita saya pada kali ini, bahwa sewaktu SD dan hingga saya menempuh perguruan tinggi saya gemar berjalan kaki.
Dulu, saya mempunya tiga sekolah dasar yang berbeda-beda provinsi, tapi ya tetap lulus hanya pada satu sekolah saja :
Sekolah pertama saya berada di Provinsi Riau, tepatnya di kabupaten Indragiri Hilir. Sekolah kedua saya berada di Jambi, Kerinci. Kemudian, sekolah ketiga saya berada di Sumatera Selatan, Musi Banyuasin. Wah banyak sekali ya sekolah saya hihi. Itupun pas saya buka buku rapor SD di bagian belakang sudah hampir penuh tulisan Keluar-Masuk. Ya mau bagaimana lagi, semasa dulu memang orang tua saya masih merantau berpindah tempat. Pas kepindahan sekolah saya yang terakhir baru menetap 'agak lama' tapi tidak tau sampai kapan.
Di Riau, sekolah saya bisa dibilang lumayan jauh. Kemungkinan ditempuh dengan berjalan kaki, bisa menghabiskan waktu 1 jam perjalanan. Sedangkan, bersepeda bisa 30 menitan. Di tempat saya itu penduduknya mayoritas orang rantauan, jadi bukan penduduk asli. Waktu dulu, motor disana hanya beberapa orang yang punya. Kebanyakan di antara mereka berkendara menggunai sepeda, iya sepeda yang dikayuh pakai kaki :v
Di rumah saya ada tiga sepeda, sepeda bapak, sepeda emak, dan sepeda saya. Karena disana iklim budayanya menggunakan sepeda, jadi saya agak jarang berjalan kaki. Namun, jika musim banjir melanda karena wilayahnya kepulauan, saya mau tak mau harus jalan kaki di jalanan yang super becek.
Ini momen yang paling saya ingat, momen berjalan kaki pada saat banjir. Di komplek saya waktu itu semuanya terendam banjir, beruntung saja perumahan disana sebagian besar bentuknya rumah panggung. Bersyukur yang terendam hanya kolongnya saja. Tapi, sobatkus pasti berpikir, "Bagaimana ke sekolahnya? Apakah Libur?" Tentu sekolah tetap sekolah, tak ada hari libur selain libur yang sudah dijadwalkan di kalender sekolah. Banjir hanya sering melanda perumahan yang dekat dengan air laut. Sekolah saya tentunya sudah jauh mengarah ke pusat 'kota' dan tentunya berada di dataran yang lebih tinggi.
Saya tidak bisa sekolah dengan sepeda, akhirnya saya diantar bapak untuk keluar dari komplek. Mungkin sekitar 15 menitan untuk keluar dari komplek saya. Wah momen ini mungkin yang sangat membekas diingatan saya, bapak yang menggendong putri sulungnya melewati banjir setinggi pinggang orang dewasa untuk pergi ke sekolah. Bak hero di tengah banjir haha
Perjalanan saya belum selesai, terlepas dari banjir saya harus melewati merahnya tanah liat. Sudah ada kantong plastik hitam di tas saya, Hayo untuk apa ? Kantong plastik berfungsi untuk menahan becek-becek di sepatu hitam saya. Sebelumnya saya sudah mengenakan sepatu lengkap dengan kaos kakinya. Melewati tanah liat kemungkinan 10menitan, kemudian bertemu dengan jembatan besar penghubung jalan komplek dengan jalan raya. Akhirnya saya menemukan jalan raya (beraspal) untuk melanjutkan perjalanan ke sekolah. Inilah sebuah perjuangan :)
Perjuangan saya berakhir hingga penerimaan rapor semester genap di kelas 2 yaitu pada saat kenaikan kelas. Saya naik ke kelas 3, namun harus pindah sekolah karena rencananya saya mau punya adik baru. Lho apa hubungannya pindah sekolah dengan punya adik?
Emak saya atau bahasa lainnya Ibu, ingin melahirkan di tanah kelahirannya saja. Istilah familiar yang kita kenal, Pulang Kampung. Ya, kami pulang kampung.
Saya memulai babak baru di tanah Kerinci nan hijau yang sejuk. Berada di kaki Gunung Kerinci, disanalah tempat saya menimba ilmu. Tidak tepat di bawah gunungnya sih, bisa dibilang 2 jam-an dari gunung. Walau terbilang cukup jauh, gunung yang dinobatkan sebagai gunung tertinggi di Sumatera ini masih terlihat dari rumah saya.
Di Kerinci, saya ke sekolah dengan berjalan kaki. Kali ini, saya cukup tidak berkeringat ketika pergi-pulang sekolah karena tempatnya yang hanya 15 menitan dari rumah. Tetap saja, berjalan kaki itu menyehatkan bukan? Hihihi
Ketika saya mengingat momen berjalan kaki dulu saat di Kerinci, ada satu hal yang paling saya ingat. Arah menuju ke sekolah, seringkali tangan saya singgah sejenak pada tumbuh-tumbuhan yang di dalamnya hidup makhluk bersayap cantik. Saya lupa namanya, yang saya ingat ukurannya lebih besar dari kepik. Nah, mirip seperti ini tetapi sayapnya lebih banyak variasi motif, tidak hanya keemasan saja.
Tidak terlalu lama saya mengenyam bangku sekolah di Kerinci, selepas semester genap kelas 3 saya sudah pindah lagi ke kota Wong Kito Galo.
Di sekolah saya yang satu ini, iklim budayanya berjalan kaki. Secara berombongan berjalan kaki menyusuri jalanan beraspal, Alhamdulillah setidaknya tidak ada becek-becek lagi. Hanya saja, sekolah saya yang ini letaknya berada di ujung desa. Kalau di tempuh dengan berjalan sedang sekitar 45 menitan. Bercawa ria sekitar 1 jam-an. Versi ngebut lari-larian sekitar 30 menit.
Ketika berjalan kaki, kedekatan antar sesama teman rasanya terbangun begitu intim. Kita bercerita banyak hal, bercanda hahahihi, ya walaupun kadang kala berdiaman (saling diam) satu sama lain untuk fokus melihat jalan.
Saya cukup nakal waktu itu, ketika pulang sekolah melewati jalan pintas di area perkebunan. Saat musim durian tiba, ada beberapa durian runtuh yang sengaja kami singgahi untuk dicari. Yup ketemu, dulu rasanya semua kebun orang itu kebunnya Wak Kari. Kari ambek bae yang artinya tinggal ambil saja. Wak untuk panggilan paman atau bibi, dan Kari artinya ambil. Jadi, kebunnya bibi/paman yang boleh diambil saja. Memang ada beberapa kebun yang boleh diambil saja, alias si pemiliknya tidak mengurus kebunnya lagi. Ini merupakan keuntungan ketika melewati jalan pintas hahaha
Ketika waktu pulang, saya juga sering singgah sejenak di beberapa gardu di pinggir jalan. Rasanya ada dua gardu yang sering saya singgahi. Gardunya berdekatan, tetapi yang paling favorit adalah gardu yang terakhir ada hawa-hawa dingin akibat angin sepoi pepohonan lebat yang meneduhkan.
Begitulah kira-kira cerita jalan kaki semasa saya masih mengenakan seragam merah putih.
Ketika SMP saya masih berjalan kaki hanya saja intensitasnya sudah berkurang. Perlahan mulai berganti memakai motor, masih di bawah umur sih ya tapi...Banyak tapi tapi, kalo melanggar ya tetap melanggar. Percayalah di desa tidak seramai di kota. Jadi, memakai motor bagi anak seusia saya sewaktu dulu, kalau di desa memanglah sudah menjadi 'pemakluman' bagi masyarakatnya
SMA, saya anak asrama. Asrama yang terletak di dalam lingkungan sekolah. Bisa dibilang, lima menit jalan kaki nyampe.
Kuliah, saya anak kosan. Kosan yang saya pilih, sengaja saya ambil yang dekat dengan kampus saja agar tidak ada uang yang keluar untuk biaya transportasi. Ya, tapi kadang kala ketika mendesak tetap saja ada receh yang keluar. Masih tetap sama, saya gemar berjalan kaki. Kita bisa mengeksplore lebih berbagai hal, menyusuri beberapa jalan yang hanya bisa dilewati pejalan kaki (sambil memetik buah misalnya), mengamati berbagai makhluk hidup termasuk pejalan kaki lainnya, serta menjadi ajang untuk merancang masa depan. Seringkali saya berkontemplasi dengan pikiran, ketika berjalan sendirian. Kalau berdua, bertiga dan lebih, seringkali berhalu ria hahaha.
Cukup sekian cerita saya kali ini. Semoga dapat memacu semangat berjalan kaki sobatkus sekalian.
Di Kerinci, saya ke sekolah dengan berjalan kaki. Kali ini, saya cukup tidak berkeringat ketika pergi-pulang sekolah karena tempatnya yang hanya 15 menitan dari rumah. Tetap saja, berjalan kaki itu menyehatkan bukan? Hihihi
Ketika saya mengingat momen berjalan kaki dulu saat di Kerinci, ada satu hal yang paling saya ingat. Arah menuju ke sekolah, seringkali tangan saya singgah sejenak pada tumbuh-tumbuhan yang di dalamnya hidup makhluk bersayap cantik. Saya lupa namanya, yang saya ingat ukurannya lebih besar dari kepik. Nah, mirip seperti ini tetapi sayapnya lebih banyak variasi motif, tidak hanya keemasan saja.
![]() |
Sejenis kepik sumber: intisari.grid.id |
Tidak terlalu lama saya mengenyam bangku sekolah di Kerinci, selepas semester genap kelas 3 saya sudah pindah lagi ke kota Wong Kito Galo.
Di sekolah saya yang satu ini, iklim budayanya berjalan kaki. Secara berombongan berjalan kaki menyusuri jalanan beraspal, Alhamdulillah setidaknya tidak ada becek-becek lagi. Hanya saja, sekolah saya yang ini letaknya berada di ujung desa. Kalau di tempuh dengan berjalan sedang sekitar 45 menitan. Bercawa ria sekitar 1 jam-an. Versi ngebut lari-larian sekitar 30 menit.
Ketika berjalan kaki, kedekatan antar sesama teman rasanya terbangun begitu intim. Kita bercerita banyak hal, bercanda hahahihi, ya walaupun kadang kala berdiaman (saling diam) satu sama lain untuk fokus melihat jalan.
Saya cukup nakal waktu itu, ketika pulang sekolah melewati jalan pintas di area perkebunan. Saat musim durian tiba, ada beberapa durian runtuh yang sengaja kami singgahi untuk dicari. Yup ketemu, dulu rasanya semua kebun orang itu kebunnya Wak Kari. Kari ambek bae yang artinya tinggal ambil saja. Wak untuk panggilan paman atau bibi, dan Kari artinya ambil. Jadi, kebunnya bibi/paman yang boleh diambil saja. Memang ada beberapa kebun yang boleh diambil saja, alias si pemiliknya tidak mengurus kebunnya lagi. Ini merupakan keuntungan ketika melewati jalan pintas hahaha
Ketika waktu pulang, saya juga sering singgah sejenak di beberapa gardu di pinggir jalan. Rasanya ada dua gardu yang sering saya singgahi. Gardunya berdekatan, tetapi yang paling favorit adalah gardu yang terakhir ada hawa-hawa dingin akibat angin sepoi pepohonan lebat yang meneduhkan.
Begitulah kira-kira cerita jalan kaki semasa saya masih mengenakan seragam merah putih.
Ketika SMP saya masih berjalan kaki hanya saja intensitasnya sudah berkurang. Perlahan mulai berganti memakai motor, masih di bawah umur sih ya tapi...Banyak tapi tapi, kalo melanggar ya tetap melanggar. Percayalah di desa tidak seramai di kota. Jadi, memakai motor bagi anak seusia saya sewaktu dulu, kalau di desa memanglah sudah menjadi 'pemakluman' bagi masyarakatnya
SMA, saya anak asrama. Asrama yang terletak di dalam lingkungan sekolah. Bisa dibilang, lima menit jalan kaki nyampe.
Kuliah, saya anak kosan. Kosan yang saya pilih, sengaja saya ambil yang dekat dengan kampus saja agar tidak ada uang yang keluar untuk biaya transportasi. Ya, tapi kadang kala ketika mendesak tetap saja ada receh yang keluar. Masih tetap sama, saya gemar berjalan kaki. Kita bisa mengeksplore lebih berbagai hal, menyusuri beberapa jalan yang hanya bisa dilewati pejalan kaki (sambil memetik buah misalnya), mengamati berbagai makhluk hidup termasuk pejalan kaki lainnya, serta menjadi ajang untuk merancang masa depan. Seringkali saya berkontemplasi dengan pikiran, ketika berjalan sendirian. Kalau berdua, bertiga dan lebih, seringkali berhalu ria hahaha.
Cukup sekian cerita saya kali ini. Semoga dapat memacu semangat berjalan kaki sobatkus sekalian.