Daftar isi [Tampil]
![]() |
Di Pinggir Jalan |
Mengadulah pada langit, meminta ramai kembali bersua. Memecah kaca jendela, memecah riuh ibukota, memecah jarum jam. Jalanan rindu pada macet yang tak terkira. Tak ada sahutan mamang parkir yang melengking. Tak ada penjual koran keliling. Tak ada pengamen yang duduk nangkring. Hey, dimensi telah berubah.
Aku kembali teringat momen itu. Diriku yang gemar mengamati sekitar. Sedang duduk seorang diri bersama koper yang dipegang.
Di bawah pohon rindang, aku melihat sekitar. Kala itu, ada seorang bapak penyapu jalanan yang sedang membersihkan dedaunan. Seketika diriku refleks untuk berdiri dan agak menjauh. Memberikan ruang kepada si bapak untuk membersihkannya. Katanya, "Lah kenapa berdiri dek, gapapa ini dikit kok. Duduk aja hehe."
Senyum si bapak terpotret sangat damai. "Ehehe gak pak, silahkan. Saya yang ngehalangin."
Kembali aku seorang diri. Ya, seperti biasanya aku menunggu salah satu mobil travel jemputan untuk pulang ke rumah. Libur yang mungkin teramat panjang menungguku. Waktu itu kampus kami masuk paling cepat, sekitar bulan Januari, kemudian memutuskan libur lebih cepat di akhir Maret disambung dengan kuliah online hingga April. Terhitung sejak dipulangkannya kami ke rumah, liburan kali ini memang yang paling panjang. Libur lima bulan! Kami biasanya akan masuk ke semester baru di bulan Agustus. Ya, jika kemungkinan si wabah segera usai, maka kami akan masuk tepat pada waktunya.
"Lama juga ya liburnya, jangan aja jamuran di rumah aja nih," ah pikiran random sekali.
Aku teringat dengan percakapan salah satu Mamang parkir di sekitar halte tempatku menunggu. Mamang itu dalam bahasa Palembang yang artinya Paman. Si mamang bercerita panjang lebar terkait wabah yang sedang mencuat akhir-akhir ini. Katanya, "Wabah ini azab dek," dan panjang penjelasannya. Saya hanya teringat pada kata-kata azab saja. Si mamang tidak percaya dengan ulasan ilmiah terkait hadirnya covid-19. Mungkin, dengan menganggapnya sebagai azab si bapak ini dapat bermuhasabah lebih lanjut. Mungkin.
Banyak hal yang saya tanyakan kepada si bapak. Salah satunya terkait profesinya sebagai kang parkir pinggir halte. "Lah lamo apo pak begawe cak ini?" saya bertanya sudah berapa lama si bapak bekerja sebagai juru parkir di Palembang. Jawabannya, "Baru enam bulan dek."
Dari beberapa cerita yang dilontarkan, si bapak memang baru menjadi juru parkir di Palembang, tapi berbahasa Palembang sudah sangat fasih. Sedangkan aku, butuh waktu setahun baru bisa lancar luncur mengucapkan beberapa kosa kata khas wong kito galo. Selama ini saya tinggal di Sumsel, tapi bukan di pusat kota yang berlafal 'o'. Di daerah saya pengucapan katanya banyak menggunakan lafal 'e'.
Sesekali si mamang yang berprofesi sebagai juru parkir ini, melambai-lambaikan tangan kepada mobil yang hendak berhenti. Katanya, "Maju, maju, ya, kiri kiri." Khas dengan seorang juru parkir. Ia sesekali bercerita kala mobil sepi datang menghampiri, banyak yang ia ceritakan tentang kisah hidupnya yang berpindah-pindah tempat untuk mencari sesuap nasi. Katanya ia bahkan pernah bekerja di daerahku yang notabenenya di plosok Sumsel, Musi Banyuasin. Kemudian, pernah juga bekerja di Belitang tempat padi menguning di Sumsel.
Sesekali saya menimpali dengan cerita saya, "Pak, orangtua saya petani karet. Sekarang harga karet lagi turun, bahkan jauh sekali turunnya" begitu saya memulai percakapan mengenai kisah keluarga saya yang berlatar sebagai keluarga petani karet. Harga karet semakin seret, sekali turun akan terus turun. Si bapak yang mendengarkan cerita saya lantas menasehati, "Belajar yang rajin dek, bersyukur masih punya orang tua yang lengkap. Diingat terus itu kalo adek dari keluarga petani, biar bisa menjadi penyemangat saat belajar" begitulah ungkapan si bapak yang sudah diterjemahkan.
Memori ini tiba-tiba terngiang begitu saja, perihal ramai yang selalu dinantikan si mamang selaku juru parkir.
Mengadu pada langit, meminta ramai kembali bersua.