Ada batas untuk kita bertumbuh

Daftar isi [Tampil]
tumbuhan
Bertumbuh

Lamat-lamat aku mulai berpikir. Apakah memang sudah waktunya aku mulai beranjak dewasa? Apalah arti umur jikalau diri masih tetap begini-begini saja. Tanpa proses hijrah dari masa lalu yang mungkin teramat kelam untuk diingat kembali. Adik-adikku sudah semakin bertumbuh, orang tuaku sudah mulai memasuki usia senja, dan diriku mulai tampak matang yang katanya bisa siap membangun biduk baru. Heh, tidak semudah itu pikirku. 

Seringkali aku berperan sebagai Kak Ros pada animasi Upin Ipin. Sedikit menggertak agar sang adik menuruti perintahku, "Dedulu begelut, kagek ku jewet telinge nenga!" Mungkin jika di terjemahkan akan memiliki makna "Jangan bercanda terus, ntar aku jewer telinga kalian!"

Adikku menjawab, begini "Tunggu bae amonku lah besok, gek nga ku marahke!" Ya katanya tunggu aja ntar kalau aku yang udah gede. Seketika saya sedih mendengarnya, sedih karena cepat sekali mereka bertumbuh. Dulu adikku masih pipis di celana, dulu masih berbicara dengan bahasa yang hanya anak kecil yang mengerti, dulu masih tidur di ayunan, dan dulu masih makan disuapain serta dulu-dulu lainnya.

Tiba-tiba aku rindu suara oe oe tangisan bayi, walau dulu pernah membuatku muak. Kenapa waktu begitu cepat berlalu? Semula belum tau berkata 'Panas' hanya bisa berkata 'Nas nas nas' yang aku kira nanas tapi ternyata nasinya panas.

Mungkin hanya soal rasa, bahwa dunia berputar begitu cepat. Namanya saja kita hidup di panggung fatamorgana. Fana. Atau sandiwara.

Cepat atau lambat kita akan kembali kepada sebenar-benarnya kehidupan yakni akhirat. Hingga pada akhirnya kita akan berhenti bertumbuh. Layaknya tumbuhan yang semula hanya sebuah biji, tunas, masa berbunga, berbuah, panen, tua, lapuk, layu, hingga mati. Sama, kehidupan kita juga memiliki batasan untuk bertumbuh. Jadi, apakah selama ini kita telah merawat diri dengan baik? Memberikan pupuk terbaik? Berfotosintesis yang baik? Hingga menebar oksigen, sudahkah?

Mungkin ini sebuah kalimat pengingat bagiku, barangkali kamu juga. Bahwa marilah kita sadar bahwa kehidupan memiliki batasan untuk bertumbuh. Mari kita rawat diri ini dengan tidak mendzoliminya, hiduplah dengan makanan yang sehat nan halal, tidurlah yang cukup nan teratur, ragamu punya hak untuk dirawat.

Mari kita berikan pupuk terbaik pada jiwa-jiwa yang lelah melayani kita setiap hari, lelah dengan segala ego yang ada. Pahamilah pupuk terbaik, membuat diri ini subur nan makmur. Pupuk apa yang terbaik? Mulailah hadir pada sebagian majlis-majlis ilmu, mulailah berekspansi skill yang belum kamu miliki, mulailah belajar menyirami diri dengan bacaan-bacaan yang mungkin sulit untuk dipahami tapi penting untuk dipelajari. Mulailah, wahai diri.

Berfotosintesis? Setidaknya sudah punya niat untuk belajar, semoga bisa diserap, terlebih lagi jika sudah maka amalkanlah. Paling tidak mari berbagi dengan menuliskannya, walau sekadar di sebuah blog kecil seperti blog ini.

Oksigen, wahai diri dunia teramat cepat untuk sekadar disinggahi duduk diam tak berarti. Tebarlah kebermanfaatan kepada sesamu, walau hanya sebuah senyuman. Bukankah senyuman merupakan sedekah yang paling sederhana? Paling tidak saudaramu lega melihat dirimu tersenyum :)
Senyummu terhadap wajah saudaramu adalah sedekah.” (HR. Tirmidzi)
Sekian sebuah narasi random kali ini. Semoga sobatkus dapat memetik hikmah yang ada.
Pict by: Pixabay
Lebih baru Lebih lama